it's me

it's me

Kamis, 07 Januari 2010

Seni Raja Dogar


Seni “Raja Dogar” merupakan salah satu seni kreasi dari pimpinannya yakni seorang kader seniman yang telah lama berkecimpung dalam dunia seni yang bernama Entis Sutisna. Dia adalah salah satu alumnus KOKAR yang telah lama berkecimpung di dunia kesenian khususnya kesenian tradisional Jawa Barat.
Berangkat dari keinginannya untuk menuangkan ide karya yang khas dari daerah Garut maka muncullah gagasan untuk membuat kreasi seni “Raja Dogar” ini. Raja Dogar dapat diartikan Rajanya Domba Garut, dengan idiom hewan khas bagi masyarakat Garut yakni Domba Garut, Raja Dogar adalah bentuk perwujudan kesenian helaran yang bersifat kalangenan dengan menggunakan idiom Domba Garut sebagai ciri khas dalam pertunjukannya.
Atas dasar keingingan yang kuat dari seorang Entis Sutisna untuk menciptakan seni kreasi yang khas berdasarkan idiom khas Garut, maka realisasinya sejak 18 Desember tahun 2005 bertempat di Cikarag Malangbong Garut Kesenian ini lahir. Sejak itulah dengan gerakannya untuk menggerakkan apresiasi dan respon masyarakat setempat terhadap keberadaan kesenian tradisional, Raja Dogar telah menjadi seni kreasi yang lahir dengan bentuk baru yang mana seacara artistik seni ini tidak lepas dari kekhasan tradisi dan daerah setempat sebagai idiom yang memperkuat terwujudnya kesenian ini.
Kesenian ini adalah kesenian berbentuk Helaran, dimana dalam pertunjukan khasnya adalah adanya Raja Dogar yakni Rajanya Domba Garut yang diwujudkan dengan bentuk seperti Barongan Besar yang berkostum Domba yang sangat besar yang dimainkan 2 orang untuk setiap Domba. Dimana 1 orang bermain dibagian depan (kepala Domba) dan yang 1 lainnya berperan di belakang (ekor domba). Secara dramatik, seni ini menggambarkan suasana perhelatan Adu Domba (pertandingan Domba) sebagai idiom khas daerah Garut dengan penambahan unsur-unsur komikal yang sangat kuat dengan adanya peran-peran para bobotoh dan wasit layaknya dalam sebuah pertanding/Adu Domba.
Kini, karena kuatnya pengaruh sang kreator (Entis Sutisna) atau penggagas seni ini, sejak kepindahannya sekitar tahun 2007 kesenian ini beralih tempat di Kp. Loji Desa Keresek Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut. Dengan keberadaannya saat inilah sang penggagas berharap seni ini menjadi ikon tersendiri bagi daerah di mana Seni Raja Dogar saat ini berada. Tentunya ia berharap, dengan Kegiatan Pemberdayaan Sarjana Seni ini seni Raja Dogar akan terus makin berkembang dan eksis serta menjadi ikon baru bagi masyarakat Garut saat ini.

Revitalisasi Seni Badeng “Pusaka Putra”


Memberdayakan Potensi Seni Daerah

Upaya melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional khususnya di Jawa Barat dewasa ini memang diperlukan wawasan strategis dan perhatian yang cukup serius. Perkembangan ilmu dan teknologi modern telah merubah perkembangan seni tradisional dalam abad ke-21 ini. Seni tradisional yang pada umumnya berkembang di pedesaan diharapkan harus tetap hidup dan berkembang.

Salah satu dampak perkembangan ilmu dan teknologi yang paling terlihat adalah pada bidang industri, hal ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya masyarakat urban, dimana masyarakat semakin gencar bersaing mencari lahan kerja dalam dunia industri. Masyarakat yang agraris sebagai ciri khas masyarakat Sunda semakin banyak ditinggalkan. Sementara pemerataan wilayah industri antara di wilayah pedesaan dengan perkotaan tidaklah berimbang, akibatnya masyarakat pedesaan makin banyak berpindah menjadi masyarakat kota. Salah satu hal yang terkena dampaknya adalah kesenian daerah yang makin termarjinalkan bahkan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Eksistensi dan keberadaannya semakin surut bahkan terancam punah.

Sebulan yang lalu pada peringatan bulan Muharam 1429 H, di salah satu daerah di kabupaten Garut tepatnya di Desa Padasuka Cibatu, disajikan salah satu kesenian tradisional yang disebut seni Badeng. Menurut penuturan salah satu tokohnya menyebutkan, sebelum seni Badeng ini dapat dipentaskan seperti sekarang ini, dalam kurun waktu hampir 20 tahun (kira-kira mulai tahun 1987) seni Badeng ini telah lama tidak aktif, bahkan alat pendukung berupa instrumen dan fasilitas lainnya telah rusak dan tidak ada lagi. Namun berkat prakarsa beberapa elemen masyarakat di daerah ini seni Badeng ini dapat aktif kembali melalui proses revitalisasi yang dilakukan selama kurang lebih 3 bulan.

Sekelumit Tentang Badeng

Antara Angklung Gubrag, Dogdog Lojor, dan Seni Badeng menggunakan waditra (instrumen) yang sama yaitu; Dogdog panjang dan beberapa buah angklung yang digunakannya. Dalam sejarah perkembangannya, Seni Badeng itu didirikan oleh dua orang santri yang berasal dari daerah Banten kira-kira pada tahun 1801, kedua orang tersebut masing-masing bernama Arpaen dan Noorsaen, dan setelah meninggal mereka diberi gelar Embah Acok. Mereka dimakamkan di sekitar Astana Haur yang termasuk di Desa Sanding Malangbong Garut. Ada pun kesenian yang digarapnya berfungsi sebagai alat hiburan dan alat komunikasi dalam rangka penyampaian ajaran agama Islam serta pendidikan lainnya.

Seni Angklung Badeng yang dinamai “Pusaka Putra” merupakan salah satu grup seni Badeng yang berada di desa Padasuka kecamatan Cibatu kabupaten Garut. Seni Badeng di daerah ini berkembang kira-kira pada tahun 1947 yang dikembangkan salah satu tokohnya bernama Abah Iyon. Abah Iyon adalah warga kampung Dukuh Padasuka dan menikah dengan salah satu warga dari kampung Kancil desa Padasuka sekitar tahun 1945 dan menetap di kampung Kancil. Di kampung Kancil inilah Abah Iyon mengembangkan Badeng bersama Aki Arnapi. Sekitar tahun 1961 Seni Badeng dari Desa Padasuka ini pernah dipentaskan di salah satu festival kesenian di Kabupaten Garut (di Gedung Cung Hua) dan menjuarai penampilan terbaik saat itu. Sekitar tahun 1963 main di Gedung Sate Bandung di depan Gubernur pada saat itu.

Secara fungsional kesenian ini berfungsi sebagai sarana hiburan yang sering dipentaskan pada acara selamatan khitanan, pernikahan, perayaan hari-hari besar, yang biasa dimainkan malam hari hingga tengah malam. Seni Badeng di desa Padasuka selalu diisi dengan Debus dan Bobodoran (lawakan) sebagai unsur tambahan untuk menambah kemeriahan pementasan seni Badeng tersebut. Struktur pertunjukan seni Badeng, disebut dengan babak yang terdiri dari babak Wawayangan, Hahayaman, Endong-endong dan sajian selingan, yakni; Bobodoran, Debus, dan Dodombaan sebuah atraksi mimesis (tiruan) perilaku binatang layaknya seperti adu domba. Adapun instrumen yang digunakan yaitu; 9 buah angklung, 2 buah dogdog lojor (panjang), kendang, goong, tarompet, dan Kecrek.

Seni Badeng ini dipimpin dan dikelola secara langsung oleh seorang kepala desa pada saat itu, hingga tahun 1985 yang secara bergantian selama 3 orang kepala desa seni badeng ini berkembang dan sering dipentaskan pada acara-acara tertentu. Mulai sekitar tahun 1987, pengelolaan seni badeng ini semakin menurun. Seni Badeng di Padasuka ini menjadi tidak berkembang. Hal ini disebabkan merosotnya perhatian dan sistem pengelolaan yang baik dari pemerintah setempat. Selain itu, seni badeng ini tidak aktif disebabkan beberapa faktor pula, antara lain:

1. Tidak adanya proses regenerasi.

2. Berkurangnya minat masyarakat untuk mementaskan seni Badeng ini.

3. Beberapa tokoh pemain seni Badeng meninggal.

4. Instrumen (waditra) Badeng rusak bahkan tidak ada lagi.

5. Kurangnya perhatian dan pembinaan dari lembaga setempat.

Revitalisasi dan Pemberdayaannya

Menilik kasus di atas, maka pada tahun 2007 lalu sebelum seni badeng ini dipentaskan pada kesempatan menyambut tahun baru Islam pada bulan Muharam 1429 H kemarin, atas prakarsa beberapa tokoh seni dan pemerintah setempat saat ini, seni badeng ini dapat diangkat melalui proses revitalisasi. Revitalisasi seni pertunjukan merupakan usaha untuk menguatkan kembali suatu seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di masa yang lalu namun kini sudah lesu bahkan mungkin sudah tidak pernah digunakan lagi. Revitalisasi bisa dilaksanakan bila sedikitnya ada seorang seniman senior yang pernah terlibat ketika seni pertunjukan tersebut masih digunakan dan orang tersebut mau mengajarkan sedikitnya kepada seorang generasi penerus untuk melanjutkan penggunaan seni pertunjukan itu kembali.

Upaya revitalisasi ini dilaksanakan sekitar tiga bulan melalui proses rekonstruksi, pengemasan, pembinaan, dan latihan mencakup peralatan dan pertunjukannya. Program ini jika dilihat merupakan program yang sangat positif dalam rangka mengangkat dan mengembangkan seni tradisional yang ada di Jawa Barat dan dapat dijadikan contoh bagi seni-seni lainnya yang keberadaannya surut bahkan terancam punah.

Upaya revitalisasi ini secara langsung dilakukan oleh masyarakatnya sendiri sebagai upayanya untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisional yang dimilikinya. Hal ini kiranya dapat dijadikan salah satu upaya yang perlu dibangun di setiap daerah yang memiliki beberapa jenis kesenian yang hampir punah. Upaya yang terpenting adalah sejauhmana program revitalisasi ini dapat ditempuh dengan memberdayakan masyarakatnya secara maksimal.

Proses revitalisasi ini ditempuh melalui upaya pengembangan dan pengemasannya kembali agar dapat menjadi bagian utama dari masyarakatnya. Hal ini dapat dijadikan bagian dari upaya pemberdayaan (empowerment) terhadap potensi kesenian daerah. Pemberdayaan artinya bahwa masyarakat menjadi bagian terpenting dalam melaksanakannya.

Kesenian dan masyarakat adalah unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya sebagai unsur pencipta, pelaku, dan penikmat dari kesenian itu. Maka di sini yang harus dijaga adalah pemberdayaan potensi seni tersebut harus dilakukan dengan melibatkan masyarakatnya. Pemberdayaan bukan upaya pengeksploitasian masyarakat sebagai objek dari pelaksanaan proyek tertentu, melainkan upaya untuk membangun daya yang dimilikinya, dengan memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Dalam kerangka pikiran tersebut, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pengembangannya sendiri. Menilik dari apa yang dilakukan masyarakat dalam menghidupkan kembali seni Badeng “Pusaka Putra” ini sedikit dapat memberikan gambaran, betapa masyarakat masih memiliki kemampuan dalam memberdayakan potensi yang dimilikinya. Hal yang terpenting adalah cara dan sistem pendekatan dalam memberi motivasi yang kuat untuk merealisasikan langkah pemberdayaannya.

Selain itu pula, hal yang harus dibangun adalah rasa kepemilikan bersama. Artinya, langkah revitalisasi dalam upaya mengangkat kembali kesenian ini tidak akan berhasil apabila masyarakatnya secara umum tidak dapat memberikan respon positif terhadap keberadaan kesenian ini. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya contoh tauladan kecintaan dan rasa kepemilikan terhadap kesenian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat baik formal maupun non formal. Seperti halnya seni badeng ini, meski tarafnya dilakukan oleh seorang kepala desa, namun ternyata cukup memberikan respon positif bagi masyarakatnya, seperti dengan menampilkan seni badeng “Pusaka Putra” ini pada acara peringatan hari-hari besar seperti menyambut Muharam kali ini.

Potensi seni sebagai sumber daya yang ada atau yang dimiliki, haruslah dijadikan sebagai bagian yang dimiliki masyarakatnya. Setelah melalui proses revitalisasi ini, seni badeng “Pusaka Putra” saat ini telah hidup kembali di tengah-tengah masyarakatnya. Namun demikian layaknya seperti bayi yang baru lahir, seni Badeng “Pusaka Putra” ini masih dalam taraf pematangan lebih lanjut. Hal yang menjadi modal dasar untuk mengembangkan kesenian ini adalah dengan sistem pengelolaan atau manajemen pengelolaannya yang optimal. Salah satu faktor organisasi seni tradisional banyak yang terkikis adalah karena lemahnya sistem pengelolaannya. Barangkali dengan pembinaan dan perhatian tentang hal ini perlu direalisasikan lebih seksama oleh berbagai elemen dan lembaga masyarakat yang ada agar pengembangan seni-seni yang kondisinya seperti kasus seni badeng ini dapat terwujud dalam rangka memperkuat jati diri bangsanya melalui seni dan budaya.


Etnomusikologi dan Kontribusinya

Tentang Etnomusikologi

Disiplin ilmu etnomusikologi ini telah lama ada dan berkembang di Indonesia. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bentuk kajian musik etnis dalam konteks budaya atau pengamatan musik dan konteks kebudayaannya (Yampolsky:1994), perkembanganya hingga kini masih terbatas di dalam wilayah akademis dan lembaga-lembaga kesenian tertentu. Pada dasarnya etnomusikologi adalah bidang interdisipliner yang menggunakan perangkat dan pendekatan utama antropologi budaya atau etnologi dan musikologi. Orang dapat berangkat dari antropologi ataupun musikologi untuk menjadi ahli etnomusikologi. Cara pendekatannya pun dapat bergeser dari etnologi ke musikologi atau sebaliknya.

Apabila diasumsikan etnomusikologi sebagai studi lapangan, musik sebagai bagian dari budaya, dan masyarakat adalah sasarannya, maka metode dan teknik lapangan yang dipergunakannya berasal dari antropologi budaya. Meski hal ini belum banyak diakui para etnomusikolog, namun kenyataannya teori-teori yang dipergunakannnya berasal dari ilmu-ilmu sosial pada umumnya, dan teknik lapangan yang dipinjam dari antropologi.

Dalam perkembangannya, etnomusikologi sendiri tidak saja membatasi diri pada pendekatan etnologis dan atau musikologis terhadap fenomena musikal kultural, tetapi juga sering menggunakan pendekatan linguistik, semantik, psikologis, filsafat, historis, serta ilmu-ilmu humaniora yang lain, bahkan juga fisika, akustika, tekhnologi multimedia, dan lain-lain.

Pada awal perkembangannya, etnomusikologi merupakan disiplin ilmu yang muncul di Eropa pada awal abad ke-20. Ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke seluruh dunia telah mengejutkan perhatian mereka bahwa ternyata bangsa-bangsa yang dianggapnya sebagai bangsa primitif di luar Eropa itu berkebudayaan pula. Namun dengan sempitnya persepsi dan sikap superiornya, mereka memandang kebudayaan di luar diri mereka dikategorikan sebagai bangsa-bangsa budaya non-Eropa, yang hanya menarik untuk dipelajari dari sudut pandang antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya, tidak menarik untuk diakui pada tingkat kebudayaan dan ilmunya. Lantas ilmu baru ini semula diberikan dengan berbagai sebutan, misalnya antropologi musik, etnologi musik, dan musik folklor atau bahkan folklor saja.

Tahun 1768 JJ. Rousseau menulis Dictionaire de musique, yang memuat eksotis-eksotis musik bangsa-bangsa Asia-Afrika. Tahun 1784, William Jones menulis On the Musical Modes of the Hindoos. Karya yang cukup lumayan dan komplit adalah tulisan F.J. Fetis Histoire generale de la musique (1869). Penulis-penulis di atas umumnya memiliki kajian yang sama. Mereka mencoba memahami volkermusik tadi dengan kacamata dan sudut pandang potret musik mereka sendiri, yaitu musik Eropa. Mereka jatuh pada pemahaman tentang sistem interval dan nada-nada atau suara, struktur melodi, variabel-variabel yang konotatif dengan aspek budaya, religi, adat istiadat, dan sebagainya.

Sampai beberapa tahun terakhir, perkembangan kajian etnomusikologi didominasi oleh Eropa dan Amerika. Pernah terbentuk semacam citra umum tentang karakter etnomusikologi Eropa yang dianggap lebih antropologis dan/atau fungsional teoritis, sedangkan di Amerika lebih cenderung praktis. Namun demikian, prinsip tentang terminologi etnomusikologi sendiri tidak berubah. Hal ini nampak nyata dari kesepahaman pemakaian terminologi etnomusikologi yang dipakai kurang lebih sejak tahun 1940, tetap menunjukkan pada pengetahuan tentang musik-musik di luar bangsa Eropa.

Etnomusikologi di Indonesia

Di Indonesia sendiri, kajian etnomusikologi dilakukan lebih belakangan. Studi serius tentang musik Indonesia baru dimulai menjelang pertengahan abad ke-20. Dipelopori oleh peneliti-peneliti asing; Belanda, Amerika, Kanada, Jerman Australia, kemudian menyusul dari negara lain seperti Jepang, Perancis, Inggris, dan sebagainya, kemudian orang-orang lokal. Beberapa nama dapat disebutkan antara lain; Jaap Kunst, Colin McPhee, Ernst Heins, Mantle Hood, Philip Yampolsky, Dieter Mack, Margaret J, Kartomi, Wim Van Janten, Fumiko Tamura, dan masih banyak lagi.

Sedangkan untuk ahli etnomusikologi pribumi Indonesia, jumlahnya masih belum banyak. Dari jumlahnya yang sedikit tersebut, tak lebih dari separuhnya yang benar-benar aktif beretnomusikologi, selebihnya adalah ahli etnomusikologi sambilan. Sebagian terbesar dari mereka adalah birokrat (pimpinan perguruan tinggi, pembina kesenian), produser, seniman, guru, pengusaha, atau berprofesi yang lain.

Dalam sejarahnya di Jawa Barat, etnomusikologi telah lama diperkenalkan para ahli etnomusikologi. Terutama yang pernah dilakukan seorang ahli etnomusikologi Jaap Kunst. Istilah etnomusikologi sendiri pernah digulirkan Jaap Kunst yang digunakan sebagai subtitel dalam bukunya yang berjudul Musicologia: a Study of the Natural of Ethno-musicology, its Problems, Methods, anda Representative Personalities (Amsterdam, 1950).

Selain itu, Jaap Kunst pun menulis buku tentang musik Jawa secara lengkap dan melakukan banyak penelitian di seluruh pelosok Indonesia. Kemudian Walter Spies orang Jerman, Collin Mcphee dari Amerika, Wim Van Janten, dan Mantle Hood. Mereka banyak meneliti dan menulis buku-buku tentang musik etnis Indonesia.

Di Jawa Barat sendiri, terdapat ahli karawitan yang mencoba merumuskan pemikiran tentang karawitan Sunda ke dalam bentuk buku. Hingga muncul buku Pangawikan Rineggaswara ( 1940) dan Seni Raras (1969) yang diciptakan Raden Machyar Angga Koesoemadinata, yang membahas tentang teori-teori karawitan Sunda, terutama sistem laras yang dilengkapi dengan perbandingan frekuensi dan interval pada masing-masing laras. Dalam teorinya, Machyar menciptakan penamaan nada-nada yang terdapat pada laras karawitan Sunda dengan nada Da, Mi, Na, Ti, La, yang banyak dipergunakan di lingkungan pendidikan hingga saat ini.

Meski hingga saat ini teori yang dilahirkan Machyar masih menjadi polemik diantara para seniman dan para ahli etnomusikologi, namun telah menjadi bukti bahwa di Jawa Barat terdapat ahli etnomusikologi yang dapat melahirkan karya-karya penelitiannya.

Kontribusi dan Harapan

Dalam proses maupun tujuan pencapaian hasil penelitiannya, etnomusikologi lebih sarat dengan prasaran sosiologis, adat istiadat, agama, antropologi, dan sebagainya. Bahkan juga aspek-aspek politik, ekonomi, dan lain-lain. Tidak jarang etnomusikologi juga terlempar dari ilmunya sendiri yakni musikologi. Di sisi lain, etnomusikologi juga sering terjebak pada pendekatan-pendekatan yang kovensional dan normatif sifatnya. Ada pendapat bahwa etnomusikologi hanyalah ilmu teoritis yang mencoba menelaah etnosentrisme musik suatu kebudayaan masyarakat tertentu dalam pengertian yang secara substansial sangat terbatas. Etnomusikologi nampaknya seolah-olah ketinggalan satu langkah dari ilmu pengetahuan lainnya. Begitu pula hasil-hasil penelitian ilmiahnya lebih sering berkutat dan berhenti di perpustakaan atau arsip kampus, sebagai terminal akhir. Tidak jarang timbul sinisme, bahwa etnomusikologi berhenti ketika etnomusikolog telah mendapat gelar kesarjanaannya di suatu jenjang pendidikannya.

Kontroversi klasik etnomusikologi nampak dalam praktik lapangan melalui bentuk-bentuk metodologi, konsepsi-konsepsi, perangkat operasional, tatacara, rekayasa, dan terutama tujuan-tujuannya. Sayangnya, justru dalam keadaan “de facto ilmiah” inilah para ahli etnomusikolog kita bernaung dan bekerja di dalamnya. R. Supanggah menyebutkan (1997), sulitnya mengembangkan disiplin ilmu ini adalah pada sumber daya manusianya. Seperti sebagian besar tenaga pengajar dan pengelola perguruan tinggi seni adalah seniman dan/atau mereka yang berlatar belakang pendidikan S-1 kesenimanan. Sehingga kendala utama yang dihadapi adalah kurang tepatnya klasifikasi bidang serta jenjang pendidikan pengajarnya.

Untuk penyelenggaraan pendidikan dan kajian keilmuan diperlukan pengajar dan peneliti dengan kualifikasi kesarjanaan, sedangkan untuk menghasilkan lulusan S-1, diperlukan pengajar dengan jenjang pendidikan di atas S-1. Semuanya sulit didapatkan di Indonesia. Tidak banyak perguruan tinggi yang secara langsung mengelola pendidikan di bidang dan program etnomusikologi ini.

Di Indonesia seperti halnya Jawa Barat, memiliki banyak ragam jenis musik etnisnya. Hal ini menjadi bahan yang sangat kaya dan sekaligus menantang bagi dunia etnomusikologi. Sebagian besar dari mereka masih hidup, dan masih menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Tetapi tidak jarang pula eksistensi mereka mulai terancam dengan perubahan dan perkembangan budaya akibat globalisasi, modernisasi, teknologi informasi, dan mobilitas manusia yang sangat luar biasa dalam waktu yang sangat cepat memacu perubahan musik-musik etnis.

Dalam situasi seperti ini, kiranya peranan etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks sosial budayanya bisa membantu dalam memberikan laporan seakurat-akuratnya tentang kehidupan suatu jenis musik. Seperti halnya mengidentifikasikan masalah yang dihadapi musik dan masyarakatnya dan diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahannya.

Sejak dulu hal yang mendasar kebudayaan kita selalu bersifat etnosintrik. Artinya bahwa segala budi daya, akal, dan rekayasa bangsa selalu terjadi melalui penelitian empiris yang etnosentris sifatnya. Etnomusikologi dapat memberikan kontribusi pula bagi terciptanya karya-karya baru yang berbobot. Masyarakat pencipta yang kreatif masih banyak berada di kalangan luar kampus. Namun, pengetahuan yang menopangnya masih tertutup rapat dalam peti-peti pengetahuan kampus-kampus kita. Setidaknya dengan langkah kerja dan hasil proses etnomusikologi bisa memberikan kontribusi berharga bagi berlangsungnya aktivitas para kreator-kreator yang senantiasa dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kesenian.

Demikian halnya dengan pendidikan apresiasi masyarakat, baik dalam kalangan sistem pendidikan formal dan informal kita. Etnomusikologi harus mampu dapat memberikan wawasan luas tentang berbagai khasanah musik etnis kita. Barangkali di sini perlu dibangun sebuah media alternatif dalam menyebarluaskan segala informasi khasanah-khasanah tersebut sebagai produk kajian etnomusikologi. Inilah kiranya etnomuikologi dapat menjadi jembatan antara masyarakat seni sebagai pelaku dan masyarakat penikmatnya.

Maka dari hal-hal tersebut yang terpenting adalah bagaimana etnomusikologi dapat dijadikan tolok ukur ke depan dalam mengembangkan seni pertunjukan (musik etnik) untuk lebih eksis di tengah-tengah masyarakatnya. Musik dan masyarakatnya tidak hanya menjadi objek penelitian semata, tetapi diharapkan menjadi bagian subjek yang aktif dalam turut serta berkembang menjadi sumber daya dalam masyarakat.

Kamis, 10 Juli 2008

Mewacanakan Pemberdayaan Seni

Membicarakan Seni Tradisional adalah sesuatu hal yang klise bila kita terus membicarakannya dengan mewacanakan hal-hal kegamangan dan kekhawatiran akan punah dan tak berdaya. Layaknya seperti cacing-cacing tanah yang bergelimangan di atas jalan aspal yang panas, dan kenyataannya memang demikian.



Namun, jika kita meneropong hal itu terlalu dalam tanpa ada tanda-tanda penyikapan yang positif melalui langkah menghidupkan dan menciptakan ketidakberdayaan menjadi seuatu yang berdaya, saya kira hal itu akan tetap menjadi wacana-wacana yang hanya menjadi bahan-bahan proyek pembangunan pemberdayaan semata. Hingga hanya menjadi "UUD" (Ujung-ujung DUit) saja, tanpa realisasi berkelanjutan untuk terus menghidupi kehidupan seni kita.



JIka melihat persoalan pemberdayaan seni yang notabene dengan objek seni yang "sekarat", maka yang mesti kita langkahkan prosesnya adalah tiga hal, yakni bagaimana caranya untuk 'menciptakan', 'membangun dan menggerakan', dan 'melindungi'. Hal inilah ddasar-dasar pemberdayaan yang paling mendasar.



Jika melihat keklisean persoalan menurunnya citra keberadaan seni-seni tradisional kita yang justru negara lain mengakui keberadaannya, adalah menjadi tugas para ahli dan lembaga terkait yang membidanginya. Yang jelas, masyarakat seni menunggu dan menunggu gerakan-gerakan penciptaan membangkitnya seni-seni tradisional melalui upaya yang lebih regeneratif.



Hal ini diharapkan pencitraan dan penanaman nilai-nilai ketradisian akan tetap bertahan di masyarakat.

iranish tv

Watch live streaming video from iranishtv at livestream.com